AKU TIDAK PUNYA TEMAN
Jam menunjukan pukul 06.55.
Seorang gadis muda tampak berlari-lari dari arah barat. Hampir saja ia terjatuh
ketika tersandung sebuah batu kecil. Ia terus berlari walau ia tahu bahwa
jalanan licin karena hujan semalam. Hingga tiba ia di sebuah tikungan sempit
dalam gang dan ia terpeleset, alhasil kali ini ia jatuh dengan sukses. Namun
tak menunggu waktu lama, ia segera bangkit, membersihkan rok panjangnya
sebentar dan berlari kembali. Sampai juga ia di tempat yang dituju, sekolah.
“Pak satpam tunggu sebentar!
Jangan ditutup dulu gerbangnya.” katanya dengan wajah panik saat melihat satpam
sekolahnya menutup gerbang depan.
“Oh, kamu Nessa, sudah berapa
kali kamu terlambat minggu ini, hah?! Sebenarnya aku enggan mengijinkan anak
yang terlambat walau hanya satu menit untuk masuk. Tapi kali ini kau ku
bolehkan masuk dan ingat, tak ada toleransi lagi lain kali.” pak satpam yang
terkenal galak itu membuka gerbang kembali dan mengijinkan gadis itu masuk.
“Terimakasih banyak pak!” teriak
gadis itu kegirangan sambil berlari masuk kelas. Sekilas Nessa melirik Rio,
teman basketnya yang menawan.
Vanessa Alexandra Ibrahim
merupakan nama lengkap dari Nessa, gadis yang sekarang duduk di kelas XI SMA.
Ia anak pertama dari lima bersaudara, semua adiknya laki-laki. Ia tinggi kurus
berkulit sawo matang dengan potongan rambut pendek lurus hampir seperti anak
lelaki. Sudah beberapa hari ini ia datang terlambat ke sekolah, entah apa
sebabnya.
Hidup Nessa mungkin bisa dibilang
tak begitu menyenangkan seperti teman-teman sebayanya. Saat SMP, kedua
orangtuanya bercerai, ayahnya meninggalkan mereka tanpa uang sepeser pun.
Ibunya memutuskan untuk pindah ke kota lain dan memulai hidup baru walaupun
sederhana. Di sekolah, Nessa bergabung dengan tim basket, olahraga favoritenya
yang telah ditekuni semenjak SD kelas empat.
“Hai Nessa, enggak terlambat
lagi? tanya Nina, teman sebangku sekaligus sesama tim basket SMA dengan nada
bercanda.
Nessa hanya menjawab dengan
senyuman. Ia segera mengeluarkan buku matematika, pelajaran pertama hari itu.
Pak Sato guru matematika mereka terlihat masuk kelas.
“Ulangan minggu kemarin sudah
bapak periksa dan akan bapak bagikan hasilnya sekarang, selamat Nessa kamu
satu-satunya yang mendapat nilai sempurna, seratus.” kata Pak Sato mengawali
pertemuan hari itu.
Sebagian anak bertepuk tangan
untuk Nessa. Ada yang menatap iri padanya. Ada pula yang melongo tidak percaya.
Bagaimana mungkin seorang anak miskin yang selalu datang terlambat dan bau
keringat bisa mendapat nilai matematika terbaik di kelas. Begitu pikir sebagian
anak. Sementara sisa anggota kelas yang lain tidak peduli apa yang terjadi.
Sementara Nessa hanya tersenyum garing. Ada sesuatu yang sangat mengganggu
pikirannya. Tapi hanya ia pendam dalam hati.
Sepulang sekolah seperti biasa ia
bermain basket di lapangan basket yang tidak jauh dari rumah maupun sekolahnya.
Ia bermain bersama tim basket sekolahnya dimana ia dipercaya sebagai kapten.
Walaupun tidak ada jadwal latihan, ia selalu menyempatkan diri untuk bermain
basket walaupun hanya seorang diri.
“Aku pulang dulu teman-teman,
dah.” pamit Nessa saat latihan selesai.
“Oh ayolah Nessa, baru jam 03.00
sore, duduk-duduk dulu sama kita sini.” ajak salah seorang teman kepada Nessa.
“Maaf aku tidak bisa, aku harus
pulang sekarang.” tolaknya
“Boleh aku antar pulang?”
tiba-tiba Rio menyela pembicaraan.
“Oh wow!” Nessa kaget dan tak percaya
tapi ia segera menolak.
“Eh maaf, aku bisa pulang sendiri
kok, rumahku deket.”
“Ya udah kalau gitu,” jawab Rio.
Hari selanjutnya Nessa tidak
masuk sekolah. Tidak ada kabar sama sekali, hingga datang sebuah pesan singkat
ke handphone Nina bahwa ibu Nessa telah meninggal dunia. Satu kelas kaget dan
pulang sekolah mereka melayat ke rumah Nessa untuk memberi ucapan belasungkawa.
Namun tak seperti yang mereka duga, Nessa sama sekali tak menampakan kesedihan.
Ia tampak tegar dan bahkan tidak menangis.
Esoknya, saat ia sedang berjalan
ke lapangan basket, seorang anak perempuan dengan sengaja menyilangkan kaki di
depan Nessa hingga ia terjatuh.
“Ups, maaf sengaja.” katanya
tanpa merasa bersalah sama sekali.
“Hei, apa maksudmu!” dengan muka
marah Nessa bangkit menghampiri gadis yang bernama Viana tersebut.
“Hei kamu, anak yatim miskin,
item, jelek dekil dan bau kambing mulai sekarang nggak usah deketin Rio lagi.
Rio itu calon pacar gue tahu!” Viana menyerang Nessa dengan kata-katanya.
“Rio itu temen aku, masalah buat
loooe!” jawab Nessa santai.
“Heh anak bau, pergi sana, kamu
nyebelin banget tau nggak si.” Viana menghardik Nessa.
Nessa tidak mengatakan apa-apa
lagi. Ia langsung pergi, namun bukan ke lapangan basket seperti tujuan awalnya
tadi. Ia berlari ke pinggir danau yang teduh dan sepi. Dan diam-diam ia
meneteskan air mata. Yap, Nessa si tegar, ia menangis.
“Ya Tuhan, kenapa. Kenapa semua
ini terjadi? Kenapa kau ambil segalanya dari hidupku! Kau bawa pergi ayahku,
Kau ambil ibuku dan semua kebahagianku!” secara tak sadar Nessa mulai berteriak
dan mengeluarkan segala unek-uneknya karena memang tak akan ada yang mendengar.
“Kenapa semua orang bisa hidup
tenang dan bermimpi, sementara aku? Bahkan tak ada satu pun orang yang mau
mendengarku. Tak ada yang mau mendengar! Tak seorang pun bisa memberi jawaban.
Aku bahkan tak punya teman.”
“Aku mau kok ndengerin kamu.”
tiba-tiba suara lain muncul dari belakang.
“Nina, kamu lagi ngapain disini?”
kata Nessa kaget saat melihat Nina tiba-tiba muncul.
“Sebenernya tadi aku lihat kamu
sama Viana di jalan, lalu aku ngikutin kamu sampai sini. Jangan anggap kamu
nggak punya sahabat. Aku disini mau kok ndengerin semua curhat kamu.”
“Nina…” Nessa tertegun sejenak
lalu memeluk Nina sambil menangis lagi.
“Nin, aku enggak setegar yang
kamu lihat selama ini. Selama ini aku itu palsu. Aku cuma menjalan peran dari
status yang terlanjur dilabelin ke diri aku. Aku anak pertama dari lima
bersaudara, aku enggak mungkin nangis saat ibu meninggal, aku pengin ngajarin
adik-adik aku buat tegar. Hidup itu keras. Setelah ayah pergi, aku harus nyari
uang buat biaya hidup keluarga aku. Aku sama sekali nggak punya waktu buat main
nggak jelas. Aku datang terlambat dan penuh keringat karena aku harus lari dari
rumah setelah belajar dan ngerjain PR dari jam tiga pagi. Cuma itu waktu aku
buat belajar, selebihnya aku rela jadi buruh cuci dan juga aku sibuk ngerawat
ibu aku yang sakit-sakitan. Aku belajar keras karena aku nggak mau nyia-nyiain
uang yang keluar untuk sekolah. Basket itu cuma pelarian dari semuanya. Basket
itu sahabat aku satu-satunya yang bener-bener bikin aku bahagia. Aku capek Nin,
aku capek.” panjang lebar Nessa menjelaskan semuanya.
“Aku emang nggak bisa selalu ada
di samping kamu Ness. Tapi aku harap kamu bisa lebih terbuka sama aku, sahabat
kamu, percayalah kamu itu enggak sendiri. Kamu punya banyak temen di luar sana,
kamu hanya perlu untuk membuka mata dan hatimu untuk melihat semuanya lebih
jelas. Memang tidak semua hal berjalan seperti yang kita harapkan, tapi yang
pasti semuanya akan baik-baik saja. Ikhlaskan saja jalani semuanya walaupun aku
nggak bisa ngrasain apa yang kamu rasain tapi aku bakal terus support kamu,
biar kamu kuat. Teruslah pegang mimpi kamu. Kamu bakal sukses kalau kamu
yakin.” Nina berucap panjang untuk mendukung Nessa.
Semua baik-baik saja. Mereka
berdua pun pulang dengan tersenyum.
0 komentar
Posting Komentar