Hadiah
yang Berujung pada Kematian
Oleh
MALIK FAJAR ABDILLAH
Sore
itu, Colbert berjalan sedikit tergesa – gesa. Sesekali dia melihat piala yang
dia genggam, dia sudah tidak sabar untuk cepat – cepat sampai di rumah. Lalu
dia berlari bagaikan cheetah melintasi jalan setapak. Dari kejauhan, rumahnya
yang memang berada di tengah sawah mulai terlihat jelas. Rumah beratap daun
kelapa yang sudah kering dengan tiang bambu, membuat rumahnya seakan sangat
ramah lingkungan. Sampai depan rumah, Colbert segera membuka pintu, di dalam
rumah tidak ada seorang pun kecuali Colbert. Colbert di rumah hanya tinggal
bersama Ibunya, karena Ayah Colbert meninggal saat dia berusia tiga tahun.
Colbert
mencari Ibunya ke Ruang keluarga, namun kosong, di kamar, di dapur pun tidak
ada. Lalu Colbert pergi ke belakang rumah tempat keluarganya beternak kelinci.
Benar saja, Ibunya sedang asik memberi makan kelinci. Betapa senangnya Colbert
bisa bertemu Ibunya setelah berbulan – bulan dia mengikuti kompetisi Sepakbola
di Provinsi Determine.
“Ibu,
Colbert pulang!” sapa Colbert. Namun apa yang terjadi, Ibunya tidak merespon
sedikit pun. Colbert lalu mengulangi lagi sampai tiga kali, tetap saja Ibunya
tidak merespon. Tidak lama kemudian, Ibunya selesai memberi makan kelinci dan
segera masuk ke dalam rumah. Colbert mendatangi Ibunya sambil tersenyum manis.
Namun Ibunya tidak merespon lagi apa yang dilakukan oleh Colbert. Sampai di
sini, Colbert semakin bingung dengan sikap Ibu kepadanya.
“Ibu,
Colbert sudah pulang bu, Colbert berhasil bu” terang Colbert. Ibunya yang
sedang duduk di sofa yang ada di ruang keluarga tidak merespon sedikit pun.
Colbert semakin cemas dengan sikap Ibunya.
Dalam
keheningan, datanglah dua orang berpakaian putih layaknya seorang dokter.
Colbert dan Ibunya tidak ada yang mengenali mereka.
Tok..
tok.. tok.. “Assalamualaikum” salam salah satu orang berpakaian putih.
“Walaikumsalam”
jawab ibu Colbert
“Dengan
ibu dari Cristhoper de Vincente Colbert Rio de Jeniero da Costa Aveiro Junior
dos Santos?” tanya salah satu orang berpakaian putih
“Iya
benar, ayo silahkan masuk” Ibu Colbert mempersilahkan untuk masuk dan duduk di
sofa
“Ada
apa ya mas?” tanya Ibu Colbert
“Begini
bu, maksud kedatangan kami yang pertama ingin memberitahu ibu bahwa anak Ibu
yang bernama Cristhoper de Vincente Colbert Rio de Jeniero da Costa Aveiro
Junior dos Santos telah berhasil membawa tim sepakbolanya menjadi juara satu
dalam kompetisi Sepakbola di Provinsi Determine. Yang kedua, dia saat menjadi
kiper, pada menit terakhir berusaha menghalau bola, namun tanpa disengaja
kepala Colbert membentur mistar gawang dengan sangat keras. Benturan itu
membuatnya tak sadarkan diri dan membuatnya mengalami pendarahan yang
membuatnya kehilangan banyak darah sehingga harus dibawa ke rumah sakit. Dokter
di sana sudah berusaha keras mengurangi pendarahan yang dia alami, namun karena
sudah terlalu parah, itu membuat dia tidak mampu bertahan lagi” jelas satu
orang berpakaian putih
“Innalillahi
wainailaihi rojiun, Colbert...” ibunya terisak tak mampu menahan rasa sedihnya
Mendengar
hal tersebut, Colbert teringat. Saat itu pertandingan final memasuki menit 89
dan timnya sedang unggul 3-0. Tim lawan
sedang menyerang pertahanan timnya. Sebuah bola melucur sangat cepat ke arah
pojok gawang, kemudian melompat berusaha menahan bola tersebut, bola berhasil masuk
dan kepalanya berhasil membentur mistar gawang. Dia jatuh dan tidak sadarkan
diri.
“Jadi,
aku sudah mati? Tidak mungkin, padahal aku belum sempat memberikan kado untuk
Ibuku” tanya Colbert dalam hati. Colbert memang sangat ingin menunjukan bahwa
dia mampu mendapatkan sesuatu yang berharga dari hobinya bermain sepakbola.
Colbert sudah merencanakan piala yang dia dapatkan akan dia jadikan kado ulang
tahun Ibunya yang ke 55 tepat pada hari final kompetisi berlangsung. Colbert
terlihat sangat sedih dan sekaligus tidak percaya, cepat sekali hidupnya
berakhir padahal dia belum merasa pernah membahagiakan Ibunya dan umurnya
bahkan belum genap 17 tahun.
Kini
Colbert hanya bisa pasrah dengan keadaan. Colbert sudah merelakan semuanya. Dia
kini sudah merasa waktunya bertemu dengan Ayahnya yang sudah terlebih dahulu
meninggal. Sudah lebih dari 13 tahun dia tidak bertemu dengan Ayahnya.
Colbert
percaya, saat itu akan datang. Saat di mana seseorang meninggalkan dunia. Semua
orang, iya semua orang akan mengalami yang namanya kematian. Perlahan tapi
pasti, sosok Colbert mulai pudar, bagaikan ditelan oleh udara.
Terinspirasi dari seorang kiper
bernama Petr Cech yang kepalanya mengalami retak akibat benturan dengan salah
seorang pemain Reading dalam pertandingan Liga Inggris.
0 komentar
Posting Komentar