Bermula dari sebuah buku karangan KH Fahmi Basya, ahli
matematika Qur’an Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, berjudul Borobudur dan
Peninggalan Nabi Sulaiman terbitan Zaituna dan PT. Ufuk Publishing, cetakan I
Agustus 2012. Materi dalam buku tersebut menurut pengakuan penulis bukan hasil
kerja sehari dua hari, tetapi telah melalui penelitian 33 tahun dan revisi
puluhan kali. Berbagai fragmen tulisan ini telah diposting di internet dengan
nama flying book. Penulis memang tidak main-main, dan menyatakan bahwa
kesimpulannya berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an. Statement beliau yang mengatakan
bahwa Nabi Sulaiman adalah anak Nabi Daud dari seorang perempuan Jawa. Sulaiman
adalah satu-satunya nabi yang mempunyai nama depan SU. Dan SU menurut Kyai Haji
kelahiran Padang ini adalah identik dengan orang Jawa, seperti Sukarno,
Suharto, Supriyono dan lainnya. Dengan kata lain Sulaiman adalah nabi dari suku
Jawa, dan tidak menutup kemungkinan Dawud atau Sulaiman akhirnya menurunkan
suku bangsa Jawa sekarang ini. Jawa adalah keturunan Yahudi. Spekalusai yang
berkembang istilah “Jawa” berasal dari “Jews”.
Dengan menggunakan ilmu ciptaan sendiri yang diberi
nama “matematika islam/qur’an” KH Fahmi Basya mengklaim bahwa Borobudur adalah
warisan Nabi Allah Sulaiman dengan demikian milik kaum muslim sedunia.
Bagaimana cara kerja matematika islam ini. Rumit sekali dan cenderung
asal-asalan namun tepat.
Proses pengklaiman borobudur tidak dimulai dari data
arkeologis tetapi dari matematika islam, dimulai dari QS.71 : 15. Dalam ayat
ini dijelaskan bahwa Allah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat.
Pernyataan langit tujuh itu memberitahukan ada lingkaran dengan jari-jari (R) =
7. Dari ilmu matematika dasar kita tahu bahwa 7K=22d, dan d=2R. Dengan
matematika pula kita akhirnya tahu bahwa Keliling lingkaran (K) adalah 44.
Sebuah lingkaran dengan K=44 akan terwakili oleh bujur sangkar dengan sisi 11,
bukankah 11 x 4=44. Artinya ada transformasi dari lingkaran berjari-jari 7
menjadi bujur sangkar bersisi 11. Perhatikan angka 11 dan 7. Bukalah QS.11:7,
di sana tersebut “Dan adalah Arsy-Nya atas air”. Ingat dengan baik kata Arsy
ini.
Selanjutnya, kita kembali ke lingkaran berjari-jari 7
yang bertransformasi menjadi bujur sangkar bersisi 11. Bujur sangkar ini jika
diubah menjadi kubus bersisi 11 maka ia akan mempunyai volume sebesar 11 x 11 x
11 =1331. Dengan terilhami oleh QS.21:30 yang menerangkan bahwa bumi dan langit
itu dulunya satu lalu dipisahkan oleh Allah, maka KH Fahmi Basya berusaha
memisahkan kode 1331 tadi menjadi dua bilangan, yaitu 1046 dan 285. Ingat bahwa
1046 + 285 = 1331. Himpunan 1046 ini menurut beliau adalah kode Alif-Lam-Mim.
Jika anda teliti Al-Qur’an maka akan ada 6 surat
Al-Qur’an yang diawali ayat “Alif-Lam-Mim”, yaitu surat ke 2, 3, 29, 30, 31 dan
32. Total jumlah karakter Alif, Lam dan Mim dari ke-6 surat tersebut adalah
19.874, dan jika angka ini dibagi dengan 19 akan didapat angka 1046 (kode
alif-lam-mim). Terus bagaimana dengan angka 285? Jika balok himpunan 1046
diletakkan di atas piramida 285 maka ia akan berubah menjadi piramida 286.
Mengapa angka 285 menjadi 286? Menurut beliau karena “Alif-Lam-Mim”
melambangkan ayat pertama dari QS. Al-baqorah, sedangkan 285 adalah ayat
selebihnya. Ketika balok alif-lam-mim jatuh ke bumi (piramida 285) di langit
terjadi bilangan 1045.
Bagaimana memahami piramida 285 atau 286 ini? Piramida
ini terdiri dari 286 balok yang disusun menjadi 5 tingkat plus satu balok
puncak. Dasar piramida disusun dari 121 balok (112), lantai dua disusun dari 81
balok (92), lantai tiga disusun dari 49 balok (72), lantai empat terdiri dari
25 balok (52), lantai lima terdiri dari 9 balok (32) dan lantai 6 (puncak)
terdiri dari 1 balok besar. Lihatlah bahwa 121 + 81 + 49 + 25 + 9 + 1 = 286.
Dan piramida 286 ini oleh KH Fahmi Basya dianggap sebagai simbol bagian atas
Borobudur (Arupa Dhatu) dengan balok puncak sebagai stupa terbesar, dengan
demikian stupa puncak Borobudur adalah Alif-Lam-Mim menurut matematika islam.
Benarkah? Nanti kita bahas.
Dengan mengutak-atik Qur’an Surat Saba dan An-Naml, KH
Fahmi Basya berani berspekulasi bahwa bagian atas Borobudur (Arupa Dhatu/ranah
kesenyapan) dahulu adalah Arsy (singgasana/istana) di istana Ratu Boko (Istana
Ratu Saba), yang dengan ilmu Kitab dipindahkan/ditransformasikan ke bagian Rupa
Dhatu (ranah rupa-rupa wujud) Candi Borobudur dengan kecepatan hanya sekejapan
mata. Bukti utama yang diajukan adalah bahwa saat ini istana Ratu Boko memang
hilang dan tinggal pondasinya saja.
Spekulasi ini berlanjut dengan klaim bahwa Borobudur
adalah peninggalan nabi Sulaiman yang pengerjaannya oleh manusia dan Jin (dalam
bukunya tersebut diatas peran Jin sangat dominan). Untuk mendukung klaim ini
penulis mengajukan argumen bahwa relief candi begitu halus sehingga mustahil
itu hasil pahatan manusia. Untuk menguatkan argumen ini diajukan ayat-ayat
Al-Qur’an yang mengisahkan Sulaiman mempunyai kaum baik dari golongan manusia,
jin dan burung-burung. Lebih jauh Kyai kita ini menjelaskan bahwa teknik
penciptaan relief dan patung di Borobudur adalah dengan melunakan batu, bukan
pahatan, karena hanya Jin yang sanggup mengatasi batu yang lunak (meleleh
karena panas). Benarkah?
Untuk mendukung klaim-klaim tersebut beliau mengajukan
bukti bahwa Saba itu benar-benar di Pulau Jawa. Selama ini para mufasir
Al-Qur’an menafsirkan bahwa Saba itu letaknya di negeri Yaman. Padahal menurut
beliau bukti-bukti bahwa Saba ada di Yaman sangat tidak mencukupi dari sudut
pandang arkeologis. Coba buka QS.34:15, terjemahannya menurut beliau adalah
“Dan sungguh adalah untuk Saba pada tempat mereka ada ayat, dua hutan sebelah
kanan dan kiri.” Perhatikan kata SABA dan HUTAN. Hutan dalam bahasa jawa kono
adalah WANA, sedangkan SABA adalah tempat berkumpul. Dari kata WANA dan SABA
akan terbentuk nama tempat yaitu WANASABA, atau sekarang WONOSOBO, sebuah
kabupaten di Jawa Tengah yang memang sangat dekat dengan komplek istana Ratu
Boko yang diklaim sebagai istana ratu Saba/Bilqis. Juga diajukan hipotesis
bahwa Kabupaten Sleman di Yogyakarta berasal dari kata Sulaiman. Kepulauan
Solomon di lautan pasifik juga ada kaitannya dengan nabi Sulaiman.
Lebih jauh Kyai Fahmi Basya mengajukan argumen
tambahan bahwa berdasarkan QS.27 : 29-30 Nabi Sulaiman pernah berkirim surat
dengan kurir seekor burung kepada ratu Bilqis di negeri Saba. Surat tersebut
menurut Al-Qur’an diawali dengan “Bismillahirrahmaanirrahim”. Untuk menunjukkan
kekuasaan dan kejayaan maka surat tersebut terbuat dari lempengan emas, dan
surat berlempeng emas ini ditemukan di kolam pemandian istana Ratu Boko. Jika
ini benar tentu merupakan bukti sahih bahwa Borobudur dan reruntuhan istana
Ratu Boko benar ada kaitan dengan nabi Sulaiman. Tetapi sayangnya beliau tidak
menjelaskan lebih lanjut perihal surat tersebut, kapan ditemukan, siapa
penemunya, apakah pendapat para pakar arkeologi tentang inskripsi emas
tersebut, hanya sekedar menampilkan fotonya saja.
BEBERAPA KEBERATAN
Tentang Nabi Sulaiman adalah keturunan Jawa karena ia
satu-satunya nabi yang menggunakan nama SU pantas diajukan keberatan. Bolehlah
saya katakan itu kebetulan saja. Kita harus melacak apakah orang-orang Jawa
sudah lazim menggunakan nama SU sejak zaman kuno, sezaman dengan Borobudur.
Mengingat Sulaiman adalah Raja maka kita harus menampilkan nama-nama Raja Jawa
(atau bangsawan atau orang terkenal) yang dikenal dalam sejarah. Referensi
untuk hal ini sangatlah banyak, saya menyebutkan sekedar contoh nama-nama raja
tersebut (Era Mataram Hindu sampai Majapahit) : Aji Saka, Shima, Indrawarman,
Sanjaya, Panangkaran, Syailendra, Panunggalan, Warak, Garung, Pikatan, Kayuwangi,
Watuhumalang, Dyah Wawa, Tulodong, Daksa, Balitung, Mpu Sindok, Airlangga,
Dharmawangsa Teguh, Jayabhaya, Tunggul Ametung, Arok, Dedes, Ndok, Lohgawe,
Gandring, Prapanca, Anusapati, Tohjaya, Kebo Ijo, Ranggawuni, Wijaya, Nambi,
Kebo Anabrang, Gajah Mada, Hayam Wuruk, Tribuana Tunggadewi, Suhita dan
seterusnya. Kita lihat bahwa pada Zaman kuno nama dengan awalan SU belum lazim
digunakan oleh orang Jawa. Sebagai perkecualian mungkin nama Raja Majapahit
Suhita, tetapi nama ini baru muncul pada abad 15, tujuh abad setelah Borobudur.
Untuk memperluas cakupan, ada baiknya kita lihat
nama-nama Jawa yang sering ditampilkan dalam naskah Jawa Kuno, seperti Kakawin
atau Kidung, misalnya : Kakawin Arjunawiwaha, kita bisa sebut nama-nama seperti
Niwatakawaca, Muka, Supraba, Arjuna, Matali, Menaka, Tilotama, Urvasi, Kanwa.
Dalam Kakawin Hariwangsa: Jayabhaya, Bhoma, Kangsa, Kalayawana, Rukmini,
Bismaka, Karawira, Kesari, Priyambada, Jarasandha, Rukma. Selanjutnya Kakawin
Ghatotkacasrya menampilkan nama-nama, yaitu: Bhupala Jayakerta, Madaharsa,
Ksiti Sendari, Abimanyu, Jurudyah, Sudarpana, Laksmana Mandrakumara,
Bajradanta.
Selanjutnya dalam Kakawin Smaradahana kita menemukan
nama-nama seperti Panuluh, Manmatha, Dharmaja, Uma, Wrespati, Nilarudraka,
Ratih, Gana, Kumara, Namusti, Ratnawati, Kameswara, Basadawa, Ratnawali,
Kiranaratu dan Udayana. Kakawin Sumanasantaka, menampilkan nama Tarnawindu,
Harini, Widharba, Indumati, Citrarata, Jayawaspa, Pratipa, Susena, Anggada,
Pandya dan Awintinatha. Kakawin Siwaratrikalpa menampilkan Tanakung, Lubdhaka
dan Citragupta.
Dari sekedar contoh nama-nama tokoh Jawa diatas (baik
yang historis maupun fiksi) dapat disimpulkan bahwa nama dengan awalan SU tidak
menjadi pilihan utama di jaman kuno. Memang kita bisa sebutkan nama-nama yang
memakai SU, seperti Sumbadra, Subali, Sugriwa, Sumantri, tetapi sudah
selayaknya pembaca maklum itu adalah nama tokoh pewayangan (Mahabarata dan
Ramayana) India, jadi bukan tipikal Jawa.
Pertanyaannya, sejak kapan orang jawa ramai-ramai
menggunakan nama SU? Tentu tidak ada kepastian. Tetapi bolehlah dibuat
hipotesis bahwa nama dengan SU mulai populer sejak abad 18, tatkala raja
Mataram Islam mulai menggunakan gelar SUSUHUNAN dan menanggalkan gelar Sultan.
SU artinya mulia/baik/unggul, sedangkan SUHUNAN (SUNAN) adalah gelar bagi wali
islam. Susuhunan berarti raja yang mengungguli para Sunan. Memang pada waktu
itu pengaruh Sunan sangat kuat sehingga seorang raja sekalipun perlu
menggunakan rekayasa linguistik berupa gelar-gelar yang serba unggul. Sejak
periode itu (abad 19 dan 20) terjadi banjir nama orang Jawa dengan awalan SU,
yang paling terkenal Sukarno (lebih baik/unggul dari satria Karno), Suharto
(unggul dalam hal harta), Supriyono (unggul melebihi pria umumnya) dan
seterusnya.
Apa maknanya jika dikaitkan dengan pendapat KH Fahmi
Basya terkait dengan Nabi Sulaiman sebagai orang Jawa? Dapatlah dipastikan
bahwa beliau tidak memahami sejarah jawa kuno dan terjebak pada fenomena Jawa
masa kini. Justru saya meyakini bahwa diabad 21 ini orang Jawa sudah sedikit
yang memberikan nama anaknya dengan awalan SU. Nama bayi abad-21 sangat
terpengaruh Arab dan Barat. Dengan demikian pendapat bahwa Sulaiman adalah
orang Jawa harus ditolak.
Keberatan lain terkait dengan penggunaan matematika
islam untuk mengklaim Borobudur dan Istana Ratu Boko. Prinsip dalam Al-Qur’an
jelas, yaitu mudah dipahami, jikapun ada ayat yang tidak jelas tentu dicari
penjelasannya pada hadist Nabi, dalam hal ini tidak dilakukan sama sekali.
Jikapun seandainya Allah SWT hendak mewahyukan bahwa Borobudur itu dibangun
oleh Nabi Sulaiman, apakah perlu dengan cara yang rumit, aneh dan berliku-liku
seperti matematikanya KH Fahmi Basya? Tidak mungkin, itu bertentangan dengan
prinsip pewahyuan.
Hipotesis bahwa Saba ada di Jawa dan terkait dengan
Wanasaba (Wonosobo) menurut saya terlalu gegabah. Coba perhatikan lagi ayat
yang QS.34:15, terjemahannya menurut beliau adalah “Dan sungguh adalah untuk
Saba pada tempat mereka ada ayat, dua hutan sebelah kanan dan kiri.” Kalau kita
baca teks arabnya maka yang dimaksud hutan itu adalah “jannah”. Para ulama
sepakat bahwa kata jannah dalam ayat ini tidak bisa diartikan sebagai hutan,
tetapi kebun, diayat lainnya bahkan diartikan surga. Beda sekali pengertian
antara hutan dan kebun. Kita lihat bahwa beliau melakukan penterjemahan sekedar
untuk mendukung pendapatnya. Dengan demikian haruslah ditolak.
Benarkah surat lempengan emas nabi Sulaiman pernah
ditemukan di bekas kolam Istana Ratu Boko di Jawa Tengah? Lempengan emas itu
memang ada, tetapi bukan berbahasa Ibrani, Aramaic atau Arab, tetapi Jawa Kuno,
bunyinya “Om Rudra ya namah swaha,” jika diartikan memang sejajar dengan
Bismillahirrahmanirrahiim. Apakah ini surat Sulaiman seperti maksud Al-Qur’an?
Jelas tidak. Perhatikan ada kata-kata “RUDRA”, nama ini adalah istilah untuk
Wisnu, dewa dalam trimurti. Apakah mungkin seorang nabi membuat kata pembuka
surat yang jelas-jelas bertentangan dengan misi kenabian? Kesimpulannya,
inskripsi emas itu adalah peninggalan hindu Jawa, dan tidak terkait dengan Nabi
Sulaiman apalagi Al-Qur’an.
BIARKAN BOROBUDUR MENCERITAKAN
DIRINYA SENDIRI
Harus diakui bahwa kapan Borobudur dibangun dan oleh
siapa tetaplah hipotesis. Pendapat terkuat mengatakan ia dibangun pada abad
ke-8 masehi oleh dinasti Syailendra pada periode Mataram Hindu, diselesaikan
pada masa Raja Samarattungga atau Pramodyawardani. Tetapi sekali lagi ini tetap
hipotesis. Sungguh, untuk menentukan Borobudur itu bangunan bersifat apa, tidak
terlalu sulit, karena bentuk, langgam, cerita relief, stupa dan patung-patung
dapat menceritakan nyaris semuanya.
Dalam liturgi agama Budha dikenal istilah
mapradaksina, yaitu ziarah dengan cara berjalan searah jarum jam, dimulai dari
pintu timur Borobudur. Daksina artinya timur. Jika anda melakukan pradaksina
sambil membaca relief yang tertera, tingkat demi tingkat, maka akan didapat
cerita yang runut, yang telah dipecahkan oleh para pakar sebelumnya. Borobudur
terdiri dari tiga tingkat, Kama Dhatu (ranah hawa nafsu), Rupa Dhatu (ranah
rupa-rupa wujud), dan Arupa Dhatu (ranah keheningan batin). Relief diukir pada
bagian Rupa Dhatu, kecuali relief tentang Karmawibhangga (kitab
sebab-akibat/karma) yang diukir pada Kama Dhatu. Sedangkan Arupa Dhatu
berhiaskan stupa-stupa kecil dan stupa besar di puncaknya.
Relief yang diukir sudah bisa dipecahkan oleh para
pakar arkeologi dan filologi, misal pada bagian Rupa Dhatu tingkat I diukir
relief cerita Lalitawistara, Jataka dan Awadana. Tingkat II, III dan IV diukir
relief Gandawyuha, Jataka dan Awadana. Sekedar penjelasan Lalitawistara
merupakan penggambaran riwayat Sang Budha (walau tidak lengkap) dimulai dari
turunnya Sang Budha dari surga Tushita dan berakhir dengan khotbah pertama di
Banares India. Jataka adalah berbagai cerita tentang Sang Budha sebelum
dilahirkan sebagai Pangeran Sidharta, berisi penonjolan sikap terpuji.
Sedangkan Gandawyuha adalah cerita seorang yang bernama Sudhana yang berkelana
mencari pencerahan sejati, digambarkan dalam 460 pigura yang dipahat
berdasarkan kitab Budha aliran Mahayana yang berjudul Gandawyuha dan
Bhadracari.
Yang hendak saya tegaskan di sini adalah, apakah
pengarang buku Borobudur dan Peninggalan Nabi Sulaiman ini telah berhasil
memecahkan bahwa relief itu bukan Lalitawistara, Jataka, Awadana, Gandawyuha
dan seterusnya? Hipotesis baru hendaknya dimulai dengan mematahkan yang lama.
Ternyata sama sekali tidak. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa beliau ini
bukan ahli jawa kuno, arkeologi dan filologi mumpuni, sehingga tidak kompeten
untuk memunculkan hipotesis baru.
Patung-patung yang berjumlah 504 juga telah
menjelaskan dirinya sendiri, ia adalah patung budhis dengan mudra (sikap duduk)
yang telah dikenal luas oleh masyarakat Budha, yaitu bhumisparsa mudra, wara
mudra, dhyana mudra, abhya mudra, witarka mudra dan sebagainya. Pengarang buku
juga tidak membahas esensi patung ini. Juga, apakah mungkin seorang nabi justru
memerintahkan membuat patung sedahsyat di Borobudur? Dari segi rasa dan
pandangan mata sepintas saja, orang muslim, kristen, dan yahudi bisa memahami
itu adalah patung budhis. Sama sekali tidak muncul kesan yang cukup bahwa
Borobudur bernuansa biblikal apalagi quranik.
Alih-alih menganalisis dan membantah apa yang sudah
nyata, justru beliau mencari-cari dan memaksakan ayat-ayat Al-Qur’an agar
selaras dengan klaimnya. Ini berbahaya, berpotensi merendahkan Al-Qur’an
sekedar sebagai kitab sejarah murahan atau matematika ghaib.
0 komentar
Posting Komentar