Ada masalah yang cukup serius dan ini berkaitan dengan aqidah. Masalah
ini sering kali muncul dalam pengajian-pengajian di berbagai tempat.
Masalah ini, harus dicermati dengan baik karena kalau tidak, akan sangat
membahayakan umat, apalagi bagi mereka yang kemampuan keislamannya
masih dalam proses kematangan.
Apa masalah yang cukup mendasar itu? Tidak
lain adalah adanya pendapat atau jawaban dari beberapa pengajar yang
diajukan jamaah pengajiannya diseputar kedudukan amal baik yang
dilakukan oleh orang kafir. Akankah ada nilainya di kemudian hari di
sisi Allah Ta’ala?
Di
antara sekian pengajar tersebut ada yang berpendapat, siapapun
orangnya, apapun agamanya, termasuk juga di dalamnya orang tidak
beragama, kalau dia berbuat amal baik pasti mendapat amal baik di
akhirat dari Allah SWT, dan orang itu berhak mendapatkan surga.
Pendapat
ini biasanya dilontarkan oleh orang yang menamakan dirinya pembaharu
yang mengagung-ngagungkan otak belaka. Padahal kalau diurut kebelakang,
bahwa apa yang diungkapkan itu sama sekali bukan hal yang baru tapi
sudah diungkapkan oleh filosof Yunani yang bernama Socrates yang selalu
mengagungkan otak manusia diatas segala-galanya.
Cara pandang seperti ini, apalagi kalau itu berkaitan dengan aqidah, sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan. Ajaran
Islam memang tidak melarang manusia menggunakan otaknya didalam
memahami agama. Akan tetapi, bagi orang yang beriman, otak itu tidak
boleh dibiarkan berjalan sendiri, ia harus dibimbing dengan wahyu,
sehingga dengan cara itu seseorang insya Allah akan terbebas dari hawa
nafsunya.
Kemudian
juga, semata-semata otak saja yang dijadikan pegangan, maka itu pun
akan mendatangkan ketidakpastian dan kebingungan manusia itu sendiri,
didalam menentukan otak siapa yang layak dijadikan panduan. Apakah
otaknya orang Inggris, Amerika, orang Afrika dan lain sebagainya
Oleh
karena itu sebagai orang yang beriman, tidak ada pilihan lain, kecuali
dalam memahami sesuatu yang berkaitan dengan masalah aqidah, hendaknya
kembali kepada wahyu dari Allah ta’ala dan Sunah Rasulullah Saw.
Berkenan
dengan masalah diatas, Al-Qur’an dengan jelas, tegas dan tuntas
menjawabnya diantaranya dalam surat al-furqan ayat 23, Allah Ta’ala
menegaskan, ”Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan (orang kafir), lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.”
Selanjutnya dalam surat An-Nur ayat 39, Allah Ta’ala juga menegaskan,
“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di
tanah yang datar, yang disangka air oleh orang yang dahaga, tetapi bila
didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun . . . .”
Begitu
juga dalam surat Ibrahim ayat 18, Allah ta’ala mengabarkan bahwa
orang-orang kafir kepada tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti
abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin
kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang
telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan
yang jauh.
Bersamaan
dengan itu tampak juga adanya kesengjaan dari mereka yang dengan
sengaja menafsirkan ayat al-Qur’an dengan tidak menggunakan metedologi
baku sebagaimana yang dilakukan para salafussaleh di dalam menafsirkan
ayat al-Qur’an. Misalnya dalam menafsirkan surat al-Baqarah ayat 62
mengenai kedudukan alam Yahudi, Nasrani, dan Shobi’i akan mendapat
pahala dari Allah sejauh mereka beriman kepada Allah, hari kemudian, dan
beramal shaleh.
Pendapat
ini jelas tidak dipertanggungjawabkan karena dalam memahami satu ayat
di dalam al-Qur’an harus merujuk kepada ayat yang lain. Misalnya saja,
dalam surat al-baqarah ayat 62, kata beriman harus dirujuk ke ayat lain,
tidak bisa menggunakan ayat itu semata-mata tanpa melihat ayat lain.
Adapun rujukan ayat tentang orang beriman ayatnya bertebaran di banyak surah di dalam al-Qur’an. Di antaranya di dalam surat al-anfal ayat 2 s/d 4, Allah menegaskan ciri-ciri orang yang beriman. Pertama,
apabila disebut nama Allah Ta’ala bergetar hatinya, kedua, apabila
dibacakan ayat-ayat Allah Ta’ala bertambahlah imannya. Ketiga,
melaksanakan shalat. Keempat, menafkahkan hartanya dijalan Allah Ta’ala.
Pertanyaannya adalah apakah orang seperti Mose Dayan, George Bush dan
yang lainnya bergetar hatinya ketika nama Allah di sebut? Bertambahkah
iman mereka ketika dibacakan al-Qur’an? Sholatkah mereka? Berinfakkah
mereka?
Kemudian
juga dalam ayat lain, misalnya dalam surat al-hujurat ayat 15, Allah
Ta’ala juga menegaskan ciri-ciri orang yang beriman, yaitu yang beriman
kepada Allah Ta’ala dan Rasulnya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan
merka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah Ta’ala,
mereka itulah orang-orang yang benar-benar orang yang beriman.
Pertanyaannya lagi, apakah orang Yahudi, Nasrani dan shobi’i itu beriman
kepada Nabi Muhammad Saw?
Dari
dalil-dalil di atas dapatlah dipastikan, bahwa pendapat yang mengatakan
amal baik orang kafir itu ada nilainya kelak kemudian hari di sisi
Allah Swt, jelas bertentangan dengan dalil Al-Qur’an disaat yang sama
akan membahayakan aqidah umat islam. Untuk itu berhati-hatilah. (Abdul Wahid Alwi/Sekretaris Umum Dewan Da’wah)
0 komentar
Posting Komentar