Cerpen Nasionalisme: 17 Agustus 2045


Barangkali kau masih belum tahu tentang kisah ini:
Pagi itu, selepas mengibarkan bendera merah putih pada tiang bambu yang dibuat sehari sebelumnya, ia duduk termangu dengan berselonjor kaki di atas dingklik teras rumah. Menyulut rok*k kretek kesukaannya lalu menyeruput kopi yang setiap pagi kubuat khusus untuknya.

Sebagai seorang istri, tentu aku harus selalu berusaha melayaninya: membuatkan kopi hangat saat gigil pagi masih berkuasa, memberi kehangatan di setiap malam-malam kami yang begitu berharga, juga berusaha mengerti setiap keinginannya, termasuk saat ia bersikeras ingin mengibarkan bendera meski hal itu teramat beresiko untuknya.

Ya, sejauh yang kutahu, ia masih tetap memiliki semangat nasionalisme yang tinggi. Sebab itu, tak jarang kutemui ia mendatangi para pemuda untuk kembali bersatu mengoarkan satu suara seperti yang dilakukan para pahlawan seabad yang lalu. Namun seperti yang kau tahu, tak semudah itu menyatukan para pemuda dengan egoisme yang berbeda-beda: ada yang hanya mementingkan diri sendiri; ada yang sibuk menenteng gadget ke sana ke mari; ada yang berjalan tak tentu arah dengan pakaian minim seolah mengumbar bir*hi. Tak ada lagi perbedaan antara kota dan desa, semuanya sama; runyam dan berantakan. Bukankah begitu dunia kita saat ini?

Aku menghampirinya yang hanya menghabiskan waktu dengan duduk termangu di pagi itu. Ia mengernyitkan dahi seolah tengah memikirkan sesuatu sebelum tersenyum lalu menoleh ke arahku.
“Bu, tolong ambilkan peralatan lukis bapak,” ia berucap dengan senyum yang terus mengembang seperti saat merayuku di awal-awal kami bertemu. Lalu aku beranjak menuruti permintaannya dengan sesungging senyum, meski ada kekhawatiran yang perlahan menjalar di hatiku.

Ia masih tetap gemar melukis seperti dulu, dan kau mungkin tak pernah tahu, betapa di awal-awal pertemuan kami, ia seringkali melukiskan wajahku di antara berbagai macam keindahan: cahaya rembulan, taburan gemintang, senja yang kemerah-merahan, serta terkadang diantara binglala yang muncul setelah guyuran hujan. Lalu aku akan berlagak manyun, cemberut, atau bahkan bermuka masam untuk mengganggunya melukis. Tapi seperti yang sudah-sudah, ia hanya tersenyum lantas memperlihatkan hasil lukisannya padaku. Hal itu mampu membuatku terperangah, tercekat oleh keindahannya.

Ia cenderung memiliki perangai yang sangat lembut dan sungguh luar biasa sebagai seorang keturunan asli pulau garam. Tak seperti kebanyakan orang yang terkenal sangar dengan parang dan celurit yang tergenggam erat di tangan. Ia juga tergolong lelaki yang romantis. Tak jarang ia memberiku kejutan tak terduga yang makin membuatku tak ingin kehilangannya.

Dulu, seringkali ia mengajakku bermain hujan. Dan ketika rintik hujan mulai reda berganti gerimis, kami akan sama-sama mengingat satu hal; perihal awal pertemuan kami yang tak disengaja saat kami berdemo di antara rintik hujan yang masih berlarik dari angkasa. Memang saat kuliah, kami aktif di pergerakan mahasiswa yang sering terjun langsung untuk memeperjuangkan suara yang selama ini tak didengarkan: tentang harga kebutuhan pokok yang semakin mencekik, keutuhan negara yang makin keropos, serta ketidakadilan yang kian meluber dimana-mana. Di saat-saat itulah kami seringkali bersitatap tak sengaja. Ia semakin memperhatikanku yang pada akhirnya membuat kami semakin akrab lalu mengambil keputusan besar; pernikahan.

Ah, sudahlah. Aku tak bisa melanjutkan ingatanku tentangnya. Aku belum mampu menerima kenyataaan bahwa ia tak lagi di sampingku. Menutup segalanya. Aku hanya ingin melanjutkan kisah yang memang dan sengaja akan kuceritakan padamu seutuhnya:

Di antara mentari yang mulai meninggi, tangannya yang lincah mulai memolesi kanvas itu dengan warna beragam. Saat itu, aku sudah dapat menyangka ia akan kembali melukiskan kesedihan. Ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah, fanatisme golongan, serta terlalu longgarnya otonomi daerah yang menjadi awal segalanya berubah, membuatnya tak lagi melukiskan berbagai macam keindahan seperti dulu.

Dan lihatlah, terkadang ia menangis di saat melukis. Tangisan panjang yang teramat memilukan dengan isak tertahan. Ia tak ingin orang lain tahu bahwa ia sedang bersedih. Sebab ia paham, kesedihan bukan hanya untuk diketahui, melainkan untuk diperhatikan dan ditanggapi. Dan mungkin kau pun takkan tahu jika tak kuceritakan hal ini padamu. Tentu kau hanya bisa menyaksikan gerakan tangannya yang gemulai memoles kanvas itu dengan warna beragam. Berbeda denganku yang jauh lebih tahu dan mengerti keinginan, perasaan, juga setiap hal yang ada padanya.

Ia tetap khusuk memoles kanvas itu di antara asap rok*k yang tak henti ia kepulkan. Mentari makin meninggi, menebarkan nuansa begitu panas di musim kemarau ini. Tapi ia tetap tak beranjak. Memang begitu. Ia tak pernah bergeming sebelum kanvas di depannya menggambarkan sesuatu yang seolah nyata. Tanpa kenal lelah. Tak peduli pada apa pun.

“Sedikit lagi,” ia berucap lirih saat aku mengusap keringat yang telah bercampur air matanya. Dan seperti biasa, ia selalu mencantumkan tempat, tanggal, bulan, tahun, serta sepetik kalimat sebagai akhir lukisan. Setelah itu, ia baru akan tersenyum puas meski jauh di kedalaman hatinya, ia menyimpan kesedihan yang luar biasa.

Baru saja lukisan itu selesai, tiba-tiba hal yang paling kutakutkan selama ini benar-benar terjadi. Asmoni bersama teman sejawatnya: Pukat, Muhala dan Bahri mendatangi rumahku. Tak hanya itu, orang-orang yang sepaham dengan mereka mulai berdatangan dengan celurit yang tergenggam di tangan.

Ada kekhawatiran yang perlahan hinggap di hatiku. Seolah mengisyaratkan sesuatu yang jauh lebih dahsyat dari yang tak kuinginkan selama ini. Kutatap wajah suamiku, tampak ia tenang saja seolah bisa membayangkan takkan pernah terjadi apa-apa. Ia hanya tersenyum ke arahku lantas berucap, “Bu, bawa lukisan ini ke dalam. Simpan di tempat yang aman.” Kembali ia tersenyum tenang seolah tengah merasakan sebuah kedamaian.
Aku menuruti perintahnya, beranjak ke dalam rumah dengan membawa serta lukisan itu. Tiba-tiba terdengar sebuah suara terlontar keras.
“Dasar penghianat! Berani-beraninya kau mengibarkan bendera taik kucing itu di sini. Sok jadi pahlawan kamu?” Asmoni berucap geram. Kulitnya yang hitam, perut buncit, serta jambang yang tumbuh lebat membuatnya pantas menjadi seorang preman bajingan.

Aku terus beranjak ke dalam rumah untuk meletakkan lukisan itu di tempat yang aman sembari merapalkan sebuah harapan; semoga tak terjadi apa-apa pada suamiku di luar.

Dari dalam rumah kudengar suara semakin gaduh diikuti teriak seseorang kemudian. Ada detak kekhawatiran di hatiku. Aku segera beranjak keluar. Dari ambang pintu rumah kulihat suamiku, orang yang amat kucintai sepenuhnya, diseret seperti binatang buruan yang tak lagi berdaya. Tubuhku tiba-tiba lunglai. Ingin sekali aku menjerit, menangis, dan menghampiri suamiku yang tak lagi berdaya itu. Tapi sayang aku tak bisa. Aku seperti tak lagi memiliki tenaga.

Ada sebersit harapan muncul saat para pemuda yang sepaham dengan suamiku, meredakan suasana dan berusaha menolongnya. Tapi sayang mereka kalah jumlah yang pada akhirnya suamiku tetap diarak dan diperlakukan tak wajar, tanpa belas kasihan.

Maaf, aku tak bisa menceritakan kelanjutan kisah ini padamu, sebab saat itu kepalaku pening, tubuhku semakin lunglai dan kemudian tak ingat apa-apa lagi.

Saat ini, setelah tiga bulan kurang seminggu dari peristiwa itu, aku hanya bisa termangu di balik jendela. Menyaksikan hujan turun untuk kali pertama di bulan November ini, sembari mengenang segala kisah yang pernah tercipta di antara kami.

Pagi ini, di saat harusnya perayaan hari pahlawan dilangsungkan, aku ingin menyampaikan sebuah harapan yang terpendam padamu; suatu saat nanti, bila segalanya telah bersatu kembali, aku ingin di depan rumahku, tempat suamiku diperlakukan layaknya binatang buruan, dibuat sebuah tugu berbentuk tiang bendera dari bambu dengan bendera merah putih yang berkibar setengah tiang. Sebagai sedikit penghargaan, juga kenangan bagi mendiang suamiku yang begitu tulus memperjuangan negeri ini agar kembali bersatu.

Sementara itu, di samping tempat tidur, di atas bufet, terpampang sebuah lukisan terakhir suamiku. Jika kau perhatikan dengan seksama lukisan itu, maka kau akan melihat potret kenangan negeri kita yang sejatinya sangat kaya-raya namun dipenuhi kesedihan yang luar biasa; jalanan dibiarkan berlubang, anak-anak kecil di bawah kolong jembatan yang dibiarkan penuh borok dan kusta dengan seorang ibu yang pontang-panting demi memberi sesuap nasi bagi anaknya. Kau juga akan temui guru-guru sekolah yang kebingungan sebab atap sekolah yang bocor di setiap kali musim penghujan dengan disaksikan arwah-arwah para pahlawan kemerdekaan yang menitikkan air mata. Lalu tengoklah pojok kiri bawah dari lukisan itu, maka kau akan menemui sebuah tulisan:

Aku ingin negeri ini bersatu kembali, tanpa luka lagi.
Republik Madura, 17 Agustus 2045
Potret kenangan negeri kami yang penuh luka, Indonesia…

Cerpen Karangan: Fairuz Zakyal “Ibad

Facebook: Fairuz Zakyal Ibad

0 komentar

Posting Komentar