Begitu bahagianya melihat teman
seperjuangan tidur nyenyak tanpa beban. Teman senang, otomatis gue senang.
Kalau susah, kita juga kudu sama-sama susah. Demikianlah penderitaan anak kos.
Hidupnya beda-beda tipis, dengan lirik lagu Slank, “Biar ga punya apa-apa, tapi
banyak cinta”. Cinta? Iya cinta.. Cinta yang bersemi di antara kami memang
sudah cukup lama. Gue dan Idham sudah menjalin hubungan gelap ini semenjak kami
hidup bersama dalam satu atap.
Gue sebenarnya malu mengakui ini.
Tapi, apa boleh buat. Gua harus jujur. Dari sinilah gue belajar merasakan
kemanisan dari sesuatu yang pahit. Menjadikan gubuk derita sebagai batu
loncatan hubungan kami di masa mendatang. Hubungan yang penuh dinamika dan
konsekuensi sosial yang sangat berat. Yakni, hubungan dari sebuah keterikatan
fisik yang sangat vital. Semboyan dari hubungan tersebut adalah, “Punya lo,
punya gue juga”. Yang berarti kolor lo, boleh dong gue pake? Haha
Jadi, maksudnya adalah hubungan
kami semakin erat. Karena, kami punya kebiasaan tukar-tukaran kolor setiap
seminggu sekali. Mungkin bagi sebagian orang, ini adalah sesuatu yang
menjijikan. Tapi, bagi kami; ini merupakan aktivitas yang membuat hubungan
pertemanan semakin erat dan sangat menolong di saat-saat sulit. Masa sih?
Mau bukti? Untuk lebih jelasnya,
Simak cerita berikut ini!
Suatu ketika, Idham memakai kolor
yang gue punya. Begitu pun sebaliknya. Kolor punya gue berwarna pink dan Idham
kuning. Nah, kebetulan hari itu, jatuh tempo kreditan papan penggilesan yang
Idham beli 7 bulan lalu. Tukang kredit itu pun datang dengan memakai jas dan
berdasi bak orang melamar kerja di perusahaan asuransi perut buncit.
“Woyyy… Buka pintunya! Mane si
Idham?! Utang papan penggilesan aja sampe nunggak 6 bulan lo?! Rugi banda nih
gue!” Sahut lantang sang tukang kredit seperti pasukan pengibar bendera.
“Waduh gimane nih, Tar? Gue belum
bisa bayar nih”. Ujar Idham panik
“Tenang… tenang… Lo serahin semua
sama gue.” Gumam gue sembari menepuk dada.
“Kalau sampai hitungan tiga, kaga
dibuka… Pintunya bakal gue dobrak. Satu… dua… tigaaa!!!”
Tukang kredit tersebut, berlari
mengambil ancang-ancang untuk mendobrak pintu. Namun, sebelum pintu terdobrak,
gue sudah lebih dulu membuka pintu. Alhasil, dia kebablasan dan nabrak tembok.
Haha
“Braaaakk.” Tembok papan tertabrak
manusia yang tak berperikepapanan.
“Haduh, bang. Sakit yaaa? Sorry
bang, saya ga sengaja.” Ujar gue sambil membopongnya
“Engga kok, ga sakit. Cuma senut…
senut.”
“Duduk dulu, bang. Maaf nih, ga
ada kursinya. Maklumlah anak kosan.”
“Iya iya ga papa. Mana si Idham?!
Kok nih kosan, jadi banyak celana kolor begini? Ada fotonya Idham pula. Loh,
kok lo malah nangis?” Tanya sang tukang kredit
“Saya ga tau lagi harus bilang
apa ke abang. Tapi sebelum Idham pergi, Idham nitip surat ini bang.” Tukas gue
terisak-isak nangis.
“saya juga ga nyangka. Begitu
cepatnya dia pergi. Padahal saya udah menyiapkan kuda lumping buat surprise
Hari Ulang Tahunnya.” Serobot gue sejurus kemudian.
“Surat apaan?! Idham pergi?”
“Abang baca aja sendiri. Nih
suratnya! Biar lebih jelas.”
Isi Surat Idham Kepada Tukang
Kredit
Bismillahirrahmaanirraahiim
Assalammualaikum Wr. Wb
Pertama-tama saya panjatkan puji
syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa. Mohon maaf sebelumnya, saya hanya bisa
menyampaikan pesan melalui sepucuk surat ini. Walaupun, raga saya tidak ada di
samping abang, tapi hati ini selalu tercurahkan untuk abang. Wajah abang selalu
terbayang di benak saya, setiap saya mencuci kolor dengan menggunakan papan
penggilesan kreditan dari abang.
Selanjutnya, saya ingin
mengucapkan terimakasih yang amat mendalam kepada abang. Abang ini, tukang
kredit yang paling berjasa bagi nusa dan bangsa. Berbakti kepada orangtua serta
sangat patut untuk diteladani. Bahkan menurut saya, abang itu pantas menerima
penghargaan, “Tukang Kredit Awards” edisi majalah gadis yang terbit pada tahun
1945. Sungguh, saya sangat mengagumi abang.
Namun, apa mau dikata, bang.
Tampaknya kita harus berpisah. Penyakit bisul yang selama ini menggerogoti
tubuh saya tidak kunjung sembuh. Hingga akhirnya, kita berbeda alam sekarang
dan untuk selamanya.
Melalui surat ini, saya
maklumatkan agar utang-utang saya diimpaskan saja. Karena saya tidak punya
tabungan di bawah kasur apalagi di bank untuk membayarnya. Maka, saya akan
mengganti pembayaran utang papan penggilesan tersebut dengan sebuah kolor
berwarna kuning. Kolor ini, sering saya cuci dengan papan penggilesan yang saya
beli di abang. Semoga abang menyukainya.
Akhir kata dari saya,
Muaaaaaah (ciuman terakhir saya
buat abang)
Wassalammualaikum Wr. Wb
Setelah membaca surat tersebut,
si Tukang Kredit ini, meneteskan air mata. Sepertinya dia terharu dengan isi
suratnya.
“Gue sedih sih baca surat ini.
Walaupun agak geli.” Pungkasnya lugas
“Iya, bang. Itu surat terakhir
yang dia buat kayaknya. Khusus buat abang.” Jawab gue
“di surat ini, kolor berwarna
kuning. Berarti kolor yang sekarang lo pake yaa?” tanyanya menduga.
“Iya bang. Kolor ini yang akan
melunasi utang dia ke abang. Tolong dikhlasin ya, bang…” Mohon gue lugu
“Iye.. iye gue ikhlasin.”
“Bentar yaa, bang. Saya lepas
dulu kolornya di kamar. Awas loh jangan ngintip. Kalau mau masuk, masuk aja.
Hahaha” canda gue menggoda tukang kredit.
“Idih najis… udeh cepetan! Lama
lo.”
“Iye.. iye.” Jawab gue
mengiyakan.
Setelah gue melepas kolornya, gue
langsung kasih ke tukang kredit pea itu. Penyerahan kolor itu pun tidak secara
langsung. Tetapi, dengan upacara-upacara aneh. Ini terpaksa gue lakukan, karena
permintaan sang penagih (tukang kredit). Ya udah deh. Mau ga mau harus gue
turutin.
Pertama gue disuruh menyiapkan
nampan buat tempat kolornya. Setelah itu, gue diminta buat jalan di tempat dan
jalan tegak maju dari kamar ke ruang tamu bagaikan pengibar bendera di Istana
Negara. Prak… prak… prak… Begitulah bunyi hentakan kaki gue saat berjalan.
“Ku serahkan kolor pusaka
pemberian Idham kepada Kisana yang Mulia.” (Teks ini permintaan tukang kredit
itu juga)
“Ku terima dengan tangan terbuka,
sebagai ganti pembayaran papan penggilesan, Idham yang dibeli 6 bulan yang
lalu.”
“Sah?” Tanya gue (soalnya kaga
ada saksinya. Jadi, gue yang bilang sah)
“SAH!!!” Jawab bersama (Gue dan
tukang kredit)
“Oke, bang. Udah impas yaa,
utangnya Idham.” Tanya gue guna meyakinkan.
“Iye.. iye.. utang si Idham gue
anggep impas.”
Diskusi aneh dan penuh tantangan
itu berlangsung selama tiga jam. Lalu, kemana Idham?
Hahaha, Idham gue umpetin di atas
loteng yang banyak kotoran tikusnya. :D
“Dham… Dham… lo baik-baik aja
kan?” Tanya gue sembari naik ke loteng.
“Cepetan, Tar! Gue udah mau
mampus di sini.” Idham menjawab dengan nada lemas
“Iye… iye bentar.”
Setelah itu, Idham gue turunin ke
bawah. Dan ternyata dia pingsan. Asli… gue bingung banget pas dia pingsan.
Akhirnya mau ga mau, gue relakan keperawanan bibir gue buat ngasih nafas buatan
ke Idham. Hedeh, kalau bukan temen, mana mau gue bantuin dia sampai melakukan
itu.
0 komentar
Posting Komentar