Dear Mama,
“Mama, saya ingin punya celana panjang dan Majalah
Bobo. Kalau tidak bisa beli yang baru, yang bekas juga saya terima.”
Kamu ingat surat berisi permintaan bodoh yang saya
letakkan di bantalmu itu? Saya berpikir selama berhari-hari sebelum berani
menuliskannya. Kamu membalasnya dengan permohonan maaf, cuma mampu membeli
Majalah Bobo. Uang kamu tidak cukup membeli celana panjang. Kamu tahu, waktu
itu, saya ingin sekali punya celana panjang seperti teman-teman saya. Seorang
anak kelas tiga Sekolah Dasar yang belum punya sehelai pun celana panjang
adalah lelucon bagi teman-temannya. Tetapi saya menyesal telah mengirim surat
itu. Hari itu, saya tahu bahwa ada keinginan harus saya relakan mendekam di
dada saja—atau keinginan itu melukai orang lain lalu berbalik melukai saya
lebih dalam.
Saya selalu mengenang masa-masa ketika kita seperti
orang asing satu sama lain. Kamar kita cuma dipisahkan dinding tipis, tetapi
saya harus mengirim surat ketika hendak mengatakan sesuatu. Ketika kamu
berangkat ke pasar membawa jualan-jualan kamu yang tidak seberapa itu, saya
akan diam-diam meletakkan surat saya di bantal kamu. Besok harinya, kamu akan
meletakkan surat balasan di tempat tidur saya. Tulisan kamu selalu lebih rapi. Saya
heran, kenapa kamu mau ikut hidup dalam permainan saya itu tanpa pernah
mengeluh. Kamu tahu, alangkah pemalu anakmu.
Masa kecil aneh itu hadiah bagi saya. Saya pikir,
kebiasaan menulis surat kepada Mama dan siapapun yang tidak mampu saya tatap
matanya ketika bicara telah melatih saya menulis. Kemampuan saya menulis hari
ini buah dari surat-surat di masa kecil saya. Kamu pasti ingat bagaimana anakmu
ini lebih memilih beli perangko daripada beli gula-gula. Kamu juga pasti ingat,
saya rela jadi penjual kantong plastik di pasar dekat penjual ikan dan penjual
kacang goreng di sekolah agar bisa punya uang untuk membalas surat-surat
sahabat pena saya.
Kamu tahu kebiasaan saya menulis surat tidak sembuh
ketika menginjak masa remaja. Kamu pasti ingat saat saya pertama kali punya
pacar— adik kelas saya yang ternyata anak teman sekolahmu. Saya dan dia
bertukar surat setiap pagi, kecuali hari libur dan Minggu, di depan
perpustakaan sebelum kami digiring bel sekolah ke kelas masing-masing. Kamu
tertawa ketika membaca kisah itu ada di novel saya. Saya menyatakan cinta
kepadanya juga lewat surat, Mama. Saya menulis surat di salah satu halaman buku
catatannya. Hahaha. Sekarang dia sudah punya dua orang anak. Terakhir saya
bertemu dia di toko buku. Dia memberi saya satu buku tebal, biografi seorang
terkenal dan kaya yang meninggal karena penyakit yang dia rahasiakan selama
hidupnya.
Waktu kuliah saya juga punya kebiasaan berkirim
surat dengan Kukila, mantan pacar saya yang paling dekat denganmu itu. Saya
membeli buku tebal bersampul biru—kami sama menyukai warna itu. Di halaman
pertama, saya menulis surat cinta kepadanya. Besok harinya, saya meminta dia
membalasnya di halaman berikutnya. Keesokan harinya lagi, saya membalas surat
di halaman setelah suratnya. Begitu seterusnya, hingga buku tebal itu penuh
surat, hingga kami memutuskan mengakhiri hubungan karena dia pindah ke Jakarta
dan menikah dengan lelaki pilihan ayahnya. Hahaha. Dia juga sudah punya dua
anak. Dia masih sering mengirim surat lewat Facebook dan tidak pernah lupa
menanyakan kabarmu.
Mengirim surat kepadamu dan kepada pacar, bukan hal
aneh lagi bagimu. Tetapi, kamu pernah menyebut saya gila ketika pertama
menerima surat yang saya kirim kepada diri sendiri. Saya berada di Jakarta
waktu itu. Saya mengirim catatan perjalanan saya ke rumah kita di Balikpapan.
Tetapi lama-lama kamu paham, anakmu memang gila, setiap berkunjung ke kota mana
pun selalu mengirimkan catatan perjalanannya dalam bentuk surat ke rumah. Saya
jarang pulang ke rumah, dan surat-surat saya sendiri adalah kejutan bagi saya
setiap saya pulang ke Balikpapan.
Saya juga punya setumpuk surat-surat yang tidak pernah
saya kirim kepada orang yang seharusnya membaca surat-surat itu. Ya, sejak
kecil saya sering menulis surat kepada Ayah. Surat pertama saya kepada Ayah
tentang celana panjang. Sebelum dia berangkat dia berjanji ingin membawa pulang
ole-ole celana panjang untuk saya. Dia tidak mungkin lagi menepati janjinya
itu. Saya tidak pernah mendengar dan membaca ada penjual celana panjang di alam
kubur sana. Hahaha. Jika pun ada, dia pasti tidak tahu harus membeli celana
panjang nomor berapa untuk saya. Dia pasti cuma mampu membayangkan setinggi dan
sebesar apa anaknya setelah kepergiannya dari rumah lebih dari 20 tahun lalu
itu.
Soal celana panjang itu, saya pernah mengirim surat
kepada Nenek. Saya ingat, dia membuat saya menangis karena membeli celana
panjang untuk saya. Waktu itu menjelang lebaran. Saya masuk kamar dan memeluk
celana panjang itu sambil membayangkan memeluk Ayah. Saya lalu menulis surat
buat Nenek untuk berterima kasih. Saya lupa, Nenek cuma bisa membaca aksara
Arab dan Bugis. Saya harus membacakan surat itu sendiri. Itu surat pertama yang
saya baca di depan orang yang saya kirimi surat.
Mama, bersama beberapa sahabat di internet yang
sebagian besar belum pernah saya lihat secara langsung wajahnya, saya membuat
satu proyek sederhana bernama ’30 Hari Menulis Surat Cinta’. Setiap hari ada
ratusan orang menulis surat cinta. Setiap hari saya membaca surat cinta mereka.
Itulah kenapa saya menulis surat berisi cerita tentang surat-surat ini. Setiap
saya membaca surat cinta, saya tidak bisa tidak mengingat kamu. Bagi saya, Mama
adalah surat cinta yang tidak berhenti dikirimkan kepada saya. Saya berharap
saya bisa jadi surat cinta balasan bagi Mama, meskipun saya tahu tidak pernah
mampu setimpal.
Terima kasih, Mama. Saya mencintai kamu.
Aan
0 komentar
Posting Komentar